Contoh Jawaban Studi Kasus PPG Guru Tertentu Tahun 2025 Jenjang SMA
Contoh Jawaban Studi Kasus PPG Guru Tertentu 2025 Jenjang SMA
STUDI KASUS JENJANG SMA (Fokus Mata Pelajaran Sejarah)
Bapak/Ibu sebagai seorang guru pasti mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Tuliskan pengalaman riil (nyata) Bapak/Ibu minimal 350 kata, maksimal 600 kata.
Masalah 1: Media Pembelajaran (Mata Pelajaran Sejarah)
-
Mengidentifikasi Masalah yang Pernah Dihadapi
Sebagai guru Sejarah di SMA, saya menghadapi tantangan klasik: anggapan bahwa Sejarah adalah mata pelajaran yang "membosankan", "kering", dan sekadar "hafalan" tanggal, nama, serta peristiwa. Saya awalnya mengajar dengan metode konvensional—ceramah menggunakan slide PowerPoint yang penuh teks dan buku paket. Ketika saya menjelaskan materi kompleks seperti "Perang Dingin" atau "Demokrasi Terpimpin", saya melihat siswa pasif, mengantuk, bahkan ada yang tertidur. Media yang saya gunakan (PowerPoint dan gambar statis) gagal membuat siswa "terbenam" dalam konteks peristiwa. Mereka kesulitan memahami relevansi peristiwa masa lalu yang terjadi ribuan kilometer jauhnya dengan kehidupan mereka sebagai remaja di Indonesia. Motivasi intrinsik mereka untuk belajar Sejarah sangat rendah.
-
Upaya Mengatasi Masalah yang Dihadapi
Saya menyadari bahwa untuk "menghidupkan" sejarah, saya harus membawa masa lalu ke ruang kelas secara lebih nyata dan interaktif. Saya mulai beralih menggunakan media pembelajaran yang lebih variatif dan berbasis visual. Saya memanfaatkan klip-klip video dokumenter berkualitas tinggi (misalnya dari PMM atau kanal edukasi Sejarah di YouTube) untuk menunjukkan rekaman arsip asli. Untuk materi arsitektur kuno atau lokasi perang, saya menggunakan fitur Virtual Tour dari Google Arts & Culture, mengajak siswa "berjalan-jalan" secara virtual di Tembok Berlin atau Museum Louvre. Saya juga menggunakan film sejarah sebagai bahan analisis. Alih-alih hanya berceramah, saya memutar klip film (misalnya, film "Soekarno" atau "The King's Speech"), lalu meminta siswa menganalisis perbedaan antara film tersebut dengan sumber buku teks.
-
Hasil dari Upaya yang Dilakukan
Dampaknya sangat signifikan. Antusiasme kelas meningkat drastis. Penggunaan video dokumenter dan virtual tour membuat siswa lebih mudah memvisualisasikan peristiwa dan lokasi. Kelas yang tadinya hening karena bosan, kini menjadi ramai oleh diskusi kritis setelah menonton klip film. Siswa mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis (HOTS), seperti, "Pak, mengapa sutradara memilih menggambarkan tokoh itu seperti itu?" atau "Apa dampak propaganda di video tadi bagi masyarakat saat itu?". Mereka tidak lagi hanya menghafal fakta, tetapi mulai memahami konteks, nuansa, dan relevansi sejarah. Pemahaman mereka menjadi lebih mendalam karena mereka bisa "merasakan" atmosfer peristiwanya.
-
Pengalaman Berharga yang Bisa Digunakan untuk Meningkatkan Diri
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa guru Sejarah harus berperan sebagai "kurator cerita", bukan hanya "pembaca buku teks". Media pembelajaran visual dan interaktif adalah jembatan terkuat untuk menghubungkan siswa SMA dengan masa lalu. Saya belajar bahwa relevansi adalah kunci; siswa akan peduli pada sejarah jika mereka bisa melihat bagaimana peristiwa itu membentuk dunia yang mereka tinggali saat ini. Saya semakin terdorong untuk kreatif mencari media baru yang dapat membuat pembelajaran Sejarah menjadi pengalaman yang imersif dan analitis.
Masalah 2: LKPD (Mata Pelajaran Sejarah)
-
Mengidentifikasi Masalah yang Pernah Dihadapi
Pada awalnya, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Sejarah yang saya buat sangat tidak efektif. LKPD saya hanya berupa kumpulan soal isian singkat dan pertanyaan "5W+1H" (Apa, Siapa, Kapan, Di mana, Mengapa, Bagaimana) yang jawabannya bisa disalin langsung (copy-paste) dari buku paket. Misalnya, "Kapan Perang Diponegoro terjadi?" atau "Sebutkan isi Trikora!". LKPD ini hanya melatih keterampilan kognitif level rendah (C1-C2) dan tidak mendorong siswa untuk berpikir kritis. Siswa mengerjakannya sebagai formalitas, dan hasilnya tidak mencerminkan pemahaman analitis mereka. LKPD tersebut gagal melatih siswa SMA untuk "berpikir seperti sejarawan", yaitu menganalisis sumber dan membangun interpretasi.
-
Upaya Mengatasi Masalah yang Dihadapi
Saya merombak total format LKPD saya menjadi berbasis penyelidikan sejarah (historical inquiry) dan analisis sumber primer/sekunder. Alih-alih soal hafalan, saya memberikan LKPD yang berisi studi kasus. Misalnya, saya menyajikan dua sumber yang berbeda (misalnya, surat dari R.A. Kartini dan artikel koran Belanda dari masa yang sama). Pertanyaan di LKPD saya ubah menjadi: "Berdasarkan kedua sumber tersebut, bandingkan sudut pandang penulis mengenai pendidikan perempuan!" atau "Identifikasi bias yang mungkin ada dalam artikel koran Belanda tersebut!". Saya juga membuat LKPD berbasis analisis visual, di mana siswa menganalisis poster-poster propaganda masa pendudukan Jepang dan menyimpulkan pesan tersirat di baliknya.
-
Hasil dari Upaya yang Dilakukan
Awalnya siswa merasa kesulitan karena mereka tidak terbiasa; tidak ada "jawaban pasti" di buku teks. Namun, setelah dibimbing, mereka menjadi sangat tertantang. Mereka belajar bahwa sejarah bukanlah fakta tunggal yang sudah jadi, melainkan sebuah interpretasi yang dibangun dari bukti (sumber). Keterampilan literasi kritis mereka terasah. Mereka menjadi lebih teliti dalam membaca teks, mampu mendeteksi sudut pandang, dan mulai berani membangun argumen sendiri berdasarkan bukti yang ada. LKPD ini secara langsung melatih keterampilan analisis (C4) dan evaluasi (C5) yang sangat penting untuk jenjang perguruan tinggi.
-
Pengalaman Berharga yang Bisa Digunakan untuk Meningkatkan Diri
Saya belajar bahwa LKPD di SMA, khususnya Sejarah, harus beralih dari "bank soal" menjadi "laboratorium analisis". LKPD harus menjadi alat bagi siswa untuk "melakukan" sejarah (doing history), bukan hanya "membaca" tentang sejarah. Pengalaman ini mendorong saya untuk terus merancang tugas-tugas penyelidikan yang otentik, menggunakan sumber-sumber primer, dan memicu siswa untuk berpikir kritis dalam menginterpretasi masa lalu.
Masalah 3: Strategi Pembelajaran (Mata Pelajaran Sejarah)
-
Mengidentifikasi Masalah yang Pernah Dihadapi
Saya pernah terjebak dalam strategi "mengejar materi". Kurikulum Sejarah SMA sangat padat, sementara tuntutan ujian akhir (dulu UN, kini SNBT) tinggi. Akibatnya, saya mengandalkan metode ceramah satu arah (ekspositori) untuk "menyelesaikan" semua bab tepat waktu. Saya berbicara selama 45 menit penuh, menjelaskan kronologi dari A sampai Z, sementara siswa pasif mencatat. Strategi ini sangat tidak efektif untuk materi-materi yang bersifat kontroversial atau multi-interpretasi, seperti materi G30S/PKI atau dampak Orde Baru. Tidak ada ruang bagi siswa untuk berdiskusi, berdebat, atau mempertanyakan narasi tunggal yang saya sampaikan. Kelas menjadi hening, dan siswa menjadi dependen pada catatan guru.
-
Upaya Mengatasi Masalah yang Dihadapi
Saya memutuskan untuk mengubah strategi saya secara drastis menjadi student-centered (berpusat pada siswa). Saya mulai menerapkan strategi Debat Terstruktur (Structured Debate) untuk materi-materi kontroversial. Kelas saya bagi menjadi tim pro dan kontra (misalnya, "Dampak positif vs. negatif Orde Baru") dan mereka harus melakukan riset untuk membangun argumen. Saya juga menerapkan Flipped Classroom (Kelas Terbalik); siswa mempelajari materi dasar (fakta dan kronologi) di rumah melalui video atau modul yang saya siapkan di Google Classroom. Waktu tatap muka di kelas kemudian kami gunakan sepenuhnya untuk aktivitas berpikir tingkat tinggi: diskusi mendalam, analisis studi kasus, dan pemecahan masalah sejarah (historical problem-solving).
-
Hasil dari Upaya yang Dilakukan
Suasana kelas berubah total. Kelas yang tadinya pasif menjadi sangat dinamis dan interaktif. Dalam sesi debat, siswa SMA menunjukkan kemampuan argumentasi yang luar biasa ketika dipicu. Mereka belajar mencari data, berargumen dengan bukti (bukan emosi), dan menghargai sudut pandang yang berbeda. Strategi flipped classroom membuat siswa lebih mandiri. Waktu saya di kelas menjadi lebih efektif untuk memfasilitasi diskusi kritis dan membimbing siswa yang kesulitan, bukan lagi habis untuk ceramah dasar. Siswa belajar bahwa sejarah memiliki banyak sudut pandang (multiple perspectives).
-
Pengalaman Berharga yang Bisa Digunakan untuk Meningkatkan Diri
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa peran guru Sejarah di SMA adalah sebagai moderator diskusi intelektual, bukan penceramah tunggal. Materi Sejarah yang padat justru harus diajarkan dengan strategi yang efisien (flipped classroom) agar ada waktu untuk pendalaman (diskusi dan debat). Saya belajar untuk lebih mempercayai kemampuan siswa menganalisis dan berpendapat, serta fokus pada penciptaan lingkungan kelas yang aman untuk perbedaan pandangan yang berbasis data.
Masalah 4: Penilaian (Mata Pelajaran Sejarah)
-
Mengidentifikasi Masalah yang Pernah Dihadapi
Sistem penilaian saya untuk pelajaran Sejarah awalnya sangat tidak otentik. Saya terlalu bergantung pada asesmen sumatif berupa tes tulis (Pilihan Ganda dan esai singkat) di setiap akhir bab atau tengah semester. Soal-soal tersebut lagi-lagi hanya mengukur kemampuan siswa menghafal fakta, kronologi, dan tokoh. Siswa bisa mendapat nilai 100 karena pandai menghafal, tetapi mereka belum tentu mampu menganalisis sebab-akibat atau menulis argumen sejarah yang runut. Penilaian ini menciptakan budaya "Sistem Kebut Semalam" (SKS) dan tidak mengukur keterampilan berpikir sejarah (historical thinking) yang sesungguhnya.
-
Upaya Mengatasi Masalah yang Dihadapi
Saya beralih ke sistem asesmen autentik yang berfokus pada kinerja dan proses. Saya mengurangi porsi tes Pilihan Ganda dan menggantinya dengan instrumen yang lebih bermakna. Instrumen utama yang saya gunakan adalah Esai Argumentatif (Argumentative Essay). Saya memberikan sebuah pertanyaan pemicu (prompt) yang analitis, misalnya: "Evaluasilah: Apakah Politik Etis benar-benar untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda atau hanya alat eksploitasi baru?". Saya membuat rubrik penilaian yang jelas dan transparan yang mengukur: 1) Kekuatan tesis/argumen, 2) Penggunaan bukti/fakta pendukung, 3) Struktur analisis, dan 4) Kesimpulan. Selain itu, saya menggunakan penilaian proyek mini-riset, di mana siswa melakukan wawancara sejarah lisan (misalnya, dengan kakek/nenek mereka tentang era 1980-an) dan menuliskannya dalam laporan.
-
Hasil dari Upaya yang Dilakukan
Hasilnya, kualitas pemahaman siswa meningkat. Mereka tidak bisa lagi sekadar menghafal. Untuk menulis esai yang baik, mereka harus benar-benar paham materi, mencari bukti pendukung, dan merangkai argumen yang logis. Keterampilan menulis akademik mereka—keterampilan vital untuk perguruan tinggi—meningkat pesat. Adanya rubrik membuat penilaian saya objektif dan transparan. Siswa juga mendapatkan umpan balik (feedback) yang jelas tentang di mana letak kekuatan dan kelemahan tulisan mereka, sehingga mereka bisa memperbaikinya di tugas berikutnya.
-
Pengalaman Berharga yang Bisa Digunakan untuk Meningkatkan Diri
Saya belajar bahwa menilai Sejarah di SMA bukanlah tentang menguji ingatan, melainkan menguji kemampuan bernalar dan berargumentasi menggunakan bukti-bukti sejarah. Esai argumentatif dan proyek penelitian adalah alat asesmen yang jauh lebih unggul daripada tes PG. Pengalaman ini mendorong saya untuk terus mengasah kemampuan saya dalam membuat soal-soal esai yang berkualitas (HOTS) dan memberikan umpan balik yang konstruktif melalui rubrik penilaian.
Unduh File Studi Kasus (Siap Edit)
Disclaimer: Konten ini hanya bersifat contoh dan referensi. Pastikan Anda menyesuaikan isi studi kasus dengan pengalaman nyata Anda sendiri saat mengisi di aplikasi UTBK PPG.
