Prinsip Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan dalam Pembelajaran Mendalam (Deep Learning)
Prinsip Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan dalam Pembelajaran Mendalam (Deep Learning)
Pembelajaran Mendalam (PM) selalu dikaitkan dengan pemahaman dan aplikasi pengetahuan dalam berbagai konteks. Terkait dengan hal ini, seperti telah disebut sebelumnya, PM menerapkan prinsip pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Masing-masing berkontribusi dalam memberikan pengalaman belajar yang komprehensif dan mendalam.
a. Berkesadaran
Prinsip berkesadaran telah diperkenalkan oleh Ellen Langer pada tahun 1997. Pembelajaran tidak hanya melibatkan pemahaman informasi, tetapi juga bagaimana individu terlibat sepenuhnya secara mental dan fisik dalam proses pembelajaran, membuka diri terhadap pengalaman baru, dan berpikir dengan cara yang lebih terbuka dan fleksibel. Prinsip berkesadaran ini relevan dengan PM sebagai pemikiran yang berkelanjutan sebagai pendekatan holistik untuk mengaitkan konten pembelajaran dengan intelektual, emosi dan nilai-nilai (Hermes & Rimanoczy, 2018).
Pembelajaran mendalam memberikan peluang keterlibatan peserta didik secara aktif, menstimulasi refleksi dalam pembelajaran, dan aplikasi pengetahuan yang lebih global (Fullan et al., 2018). Hal ini selaras dengan prinsip berkesadaran dalam melibatkan peserta didik baik sebagai individu ataupun anggota masyarakat. Pembelajaran yang berkesadaran merupakan pelibatan peserta didik secara menyeluruh dalam proses pembelajaran, meningkatkan kesadaran berpikir, perasaan, dan lingkungan sekitarnya. Bentz (1992) menyampaikan bahwa PM menstimulasi proses emosional, intelektual, mental, fisik, sosial dan personal peserta didik.
b. Bermakna
Pembelajaran bermakna telah diperkenalkan oleh David Ausubel pada tahun 1963. Pembelajaran bermakna akan lebih efektif jika informasi baru yang dipelajari dapat dikaitkan dengan pengetahuan atau pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki oleh siswa. Prinsip ini relevan dengan PM sebagai cara untuk memahami makna, sehingga meningkatkan efisiensi dan retensi jangka panjang (Kovač et al., 2023).
Pembelajaran bermakna terjadi ketika peserta didik dapat mengaitkan informasi baru dengan pengetahuannya yang akhirnya membentuk pemahaman yang mendalam pada sebuah konsep. Fullan et al. (2018) mengaitkan pembelajaran dengan pembelajaran bermakna pada konteks relevansi aktivitas pembelajaran dengan dunia nyata, mengaitkan kontribusi pengetahuan peserta didik pada berbagai konteks, dan pemanfaatan lingkungan sekitar untuk pembelajaran. Pembelajaran Mendalam memiliki prinsip pembelajaran bermakna karena mengutamakan pemahaman materi secara menyeluruh, tidak sekedar menghafal. Ketika peserta didik terlibat dalam pembelajaran bermakna, peserta didik akan aktif untuk membuat keterkaitan, menganalisis, dan sintesis informasi yang merupakan prinsip PM.
c. Menggembirakan
Ahli-ahli pendidikan seperti John Dewey (1936) dan Howard Gardner (1983) menekankan bahwa pembelajaran relevan dengan kehidupan nyata individu dan mengutamakan pembelajaran yang aktif serta pengalaman langsung. Michael Fullan (2014 dan 2018) menyatakan pentingnya menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendalam, bermakna, dan menggembirakan. Pembelajaran Mendalam akan bermakna untuk individu dalam meningkatkan motivasi dan menyenangkan (Kovač et al., 2023).
Pembelajaran yang menggembirakan fokus pada emosi yang positif yang berhubungan dengan proses pembelajaran termasuk rasa ingin tahu, semangat, dan motivasi. Pembelajaran Mendalam mempercepat rasa nyaman karena memberikan tantangan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi ide-ide kompleks. Ketika peserta didik mengalami belajar yang interaktif, aktif, serta terpusat pada peserta didik, mereka akan termotivasi untuk memahami secara mendalam materi pembelajaran, meningkatkan retensi dan pemahaman.
PM dalam Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, PM didefinisikan sebagai pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu. Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk belajar secara sadar dan penuh perhatian, menikmati proses pembelajaran, serta menemukan makna dan relevansi dari apa yang dipelajari terhadap kehidupan mereka.
Landasan Sosiologis dan Yuridis
Secara sosiologis, hakikat pendidikan dalam proses PM berkaitan erat dengan kepentingan nasional, terutama keberadaan bangsa yang majemuk. Tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, yang memerlukan pembangunan kehidupan yang cerdas di berbagai aspek (Madya, 2010). PM merupakan fondasi untuk mencapai penguasaan sejati pengetahuan dan pengamalannya.
Secara yuridis, PM menjadi instrumen penting untuk memenuhi hak warga negara atas pendidikan bermutu (Pasal 31 UUD 1945). Penerapan PM sejalan dengan amanat UU Sisdiknas Pasal 1 & 3 untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, berilmu, dan cakap. Prinsip pembelajaran PM juga selaras dengan penciptaan suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 Pasal 12.
Landasan Empiris (PM di Indonesia dan Mancanegara)
PM dan prinsipnya telah diadaptasi melalui berbagai kebijakan kurikulum di Indonesia, mulai dari Pancawardhana (Kurikulum 1964) hingga enam dimensi Profil Pelajar Pancasila (Kurikulum Merdeka 2022). Penerapan pembelajaran aktif (CBSA 1984), model PAKEM (2002), hingga pendekatan tematik-terpadu (KTSP 2006 dan Kurikulum 2013) menunjukkan upaya berkesinambungan untuk mewujudkan PM.
Di mancanegara, Norwegia telah menggunakan kerangka kerja PM sebagai basis kurikulum (sejak 2020), mengurangi konten untuk memfasilitasi pemahaman mendalam dan interdisiplin. Negara lain seperti Finlandia, Inggris, Jerman, Australia, Jepang, dan Korea Selatan juga menerapkan prinsip PM melalui pendekatan yang berpusat pada peserta didik, inklusif, holistik, dan mengaitkan materi dengan isu dunia nyata.
Daftar Pustaka
- Ausubel, D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning: An introduction to school learning. Grune & Stratton.
- Bentz, J. L. (1992). The holistic curriculum. ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
- Dewantara, K. H. (1967). Karya Ki Hajar Dewantara (Jilid 1). Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
- Dewey, J. (1936). Experience and education. Kappa Delta Pi.
- Fullan, M. (2014). Stratosphere: Integrating technology, pedagogy, and change knowledge. Pearson.
- Fullan, M., Quinn, J., & McEachen, J. (2018). Deep learning: Engage the world, change the world. Corwin Press.
- Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.
- Hermes, L., & Rimanoczy, I. (2018). Deep learning for sustainable development: A conceptual framework. Journal of Cleaner Production, 193, 767-779.
- Kovač, A., Gorenšek, M., & Šauperl, A. (2023). Deep learning and its role in sustainable education. Sustainability, 15(3), 2275.
- Langer, E. J. (1997). The power of mindful learning. Addison-Wesley.
- Madya, S. (2010). Pendidikan karakter dan pembangunan bangsa. Laporan Penelitian, Universitas Negeri Yogyakarta.
- Norwegian Ministry of Education and Research. (2015). Fremtidens skole: Fornyelse av fag og pedagogikk. Oslo: Kunnskapsdepartementet.
- Norwegian Directorate for Education & Training. (2021). Core curriculum: Knowledge promotion. Oslo: Utdanningsdirektoratet.
- Tilaar, H. A. R. (1995). Lima dimensi pendidikan nasional. Gramedia Widiasarana Indonesia.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
